bioethanol

Sabtu, 10 September 2011

Pengolahan Singkong (Ubi Kayu) menjadi Bioethanol



Fakta tentang semakin menipisnya cadangan minyak bumi dari waktu ke waktu bukan lagi isapan jempol,sensitifnya harga minyak dunia selama ini telah membuktikan hal itu sekaligus memberikan pesan kepada umat manusia agar tidak bergantung sepenuhnya lagi kepada bahan bakar yang berasal dari fosil.Hampir semua negara di dunia telah meneliti serta mengembangkan energi alternatif sebagai pengganti minyak bumi. Tak terkecuali Indonesia,walaupun pelaksanaannya agak terlambat.Tak jadi soal,dari pada tidak sama sekali.

Seiring dengan kenaikan harga BBM di dalam negeri,sejak tahun 2005 hingga kini nama "Bioethanol" kemudian menjadi booming lagi di Indonesia karena terbukti bisa dijadikan sebagai salah satu bahan alternatif pengganti BBM,Lebih murah serta bersifat ramah lingkungan.

Secara umum pembuatan Bioethanol dapat dilakukan menggunakan 3 (tiga) sumber bahan baku,antara lain :
  • Bahan baku yang banyak mengandung unsur Karbohidrat atau kandungan pati,seperti : Singkong (ubi kayu  atau ketela pohon),Gandum,Ubi Jalar,Kentang, Beras,Sweet Sorgum,Jagung,Sagu,Ganyong,Talas,dll.  
  • Bahan baku yang banyak mengandung unsur gula,seperti : Molase (tetes),Nira Kelapa,Nira Aren,Molase (tetes),Air Kelapa,Tebu,Mangga,Jambu,Nenas,Pepaya,Jambu Mete,Pisang,dll.   
  • Bahan baku yang mengandung Sellulose (serat),seperti : Jerami Padi,Sampah Organik,Tandan Sawit,Bonggol Jagung,limbah kayu,dll. 

Dari berbagai sumber bahan baku (raw material)seperti yang telah disebutkan,saya akan mencoba menggambarkan proses pembuatan Bioethanol dari bahan baku ubi kayu atau singkong (Cassava)yang biasanya dilakukan melalui 4 tahapan proses,yaitu :

1. Persiapan dan pengolahan bahan baku ubi kayu
2. Fermentasi
3. Penyulingan (distilasi)
4. Dehidrasi (pemurnian).

1. PERSIAPAN DAN PENGOLAHAN BAHAN BAKU

1. Pilih dan siapkan ubi kayu yang sudah tua (cukup umur) sebanyak 15 kg,kira-kira telah berumur 11 bulan. Usahakan pemrosesan singkong tidak lebih dari 3 hari sejak dicabut dari kebun.
2. Kupas kulit singkong dengan pisau kemudian bersihkan dengan air bersih.
3. Hancurkan buah singkong menggunakan mesin parutan kelapa.
4. Singkong yang telah di parut selanjutnya ditambahkan air bersih sebanyak 22,5 liter (1,5 X berat bahan baku) dan diaduk hingga merata. Selanjutnya masukan bahan baku kedalam coocker tank berupa drum kecil (kapasitas 50 ltr)untuk dimasak menggunakan api kompor atau kayu bakar.
5. Bahan baku dimasak sambil diaduk terus menerus menggunakan kayu pengaduk.
6. Pengadukan dilakukan hingga adonan mengental seperti Jelly dan mulai terasa berat ketika diaduk (gelatinasi). Cek suhu adonan bubur singkong menggunakan termometer celup. Apabila suhu adonan sudah mencapai 80°-85°C masukan 0,03% Enzym Alfa Amylase sambil terus diaduk sampai adonan berubah menjadi lebih cair seperti sup dan terasa ringan ketika diaduk. Pertahankan suhu adonan antara 90°- 95°C selama 1jam dengan cara mengatur besar api kompor atau kayu bakar. Tahapan ini disebut Proses Likuifikasi. Pada kondisi ini struktur tepung/pati singkong dipecah secara kimia menjadi gula komplex.
7. Matikan kompor,biarkan adonan mendingin hingga mencapai suhu lebih rendah,yaitu 60 °C. Pada suhu ini masukan 0,07% Enzym Glucoamylase sambil adonan diaduk hingga merata. Pertahankan adonan pada suhu 60 °C selama 1jam,kemudian biarkan adonan mendingin hingga suhunya berkisar antara 27°-30°C. Tahapan ini disebut Proses Sakarifikasi. Pada kondisi ini gula komplex dipecah lagi menjadi cairan gula sederhana dengan prosentase rendah (5-10 %).

2. FERMENTASI

Setelah cairan gula sederhana mendingin (suhu 27°-30°C),pindahkan cairan tersebut kedalam fermentor berupa drum plastik. Selanjutnya masukan 20 gram pupuk Urea dan 5 gram pupuk NPK. Setelah diaduk merata,masukan lagi Ragi (yeast) sebanyak 15 gram. Aduk hingga merata lagi dan pertahankan PH 4-4,5.

Fungsi pupuk Urea dan NPK sebagai nutrisi bagi aktivitas Ragi. Keseluruhan tahapan proses membutuhkan ketelitian agar bahan baku tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Dengan kata lain,dari persiapan baku,liquifikasi,sakarifikasi,hingga fermentasi harus pada kondisi bebas kontaminan. Tutup rapat drum plastik dan diamkan selama 4-7 hari. Proses fermentasi dilakukan secara anaerob pada suhu 28-30°C akan menghasilkan cairan Ethanol berkadar rendah (3-7 %)dan CO2.

3. PENYULINGAN (DISTILASI)

Setelah 4-7 hari,keluarkan cairan hasil fermentasi dari fermentor kemudian saring untuk memisahkan limbah padat (sludge) dan cairan yang sudah mengandung ethanol berkadar rendah (biasanya berkisar antara 5 hingga 10 %. Cairan hasil fermentasi (mash)ini kemudian disebut Cairan Beer.

Distilasi atau lebih umum dikenal dengan istilah Penyulingan dilakukan untuk memisahkan alkohol dari cairan beer hasil fermentasi. Dalam proses distilasi, pada suhu 78°C (setara dengan titik didih alkohol) ethanol akan menguap lebih dulu ketimbang air yang bertitik didih 100°C. Uap ethanol didalam distillator akan dialirkan kebagian kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan ethanol.

Kegiatan penyulingan ethanol merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses produksi bioethanol. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan tenaga operator yang sudah menguasai teknik penyulingan ethanol. Selain operator yang berpengalaman, untuk mendapatkan hasil penyulingan ethanol yang optimal dibutuhkan pemahaman tentang teknik fermentasi dan peralatan distillator yang berkualitas.

Penyulingan Bioethanol dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara :

1. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator tradisional(konvensional). Dengan cara ini kadar ethanol yang dihasilkan hanya berkisar antara antara 20 s/d 30 %.

2. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator model kolom reflux (bertingkat). Dengan cara dan distillator ini kadar ethanol yang dihasilkan mampu mencapai 20-95 % melalui proses penyulingan berulang.

Kelebihan distillator model kolom reflux :

  • Memiliki mekanisme pengontrolan suhu
  • Output ethanol bisa mencapai kadar 90 hingga 95 %.
  • Cairan ethanol tidak berwarna,bening,serta bersih.
  • Cairan alkohol tidak terasa bau.
  • Tidak memerlukan air pendingin banyak.
  • Praktis dan simpel.

4. DEHIDRASI(PEMURNIAN)

Hasil penyulingan (distilasi) beberapa kali hingga menghasilkan ethanol berkadar 90 atau 95 % belum dapat larut secara sempurna apabila langsung dicampur (Blending) dengan bahan bakar bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan ethanol berkadar 99,6-99,8 % atau disebut ethanol kering. Untuk pemurnian ethanol 93-95 % harus melalui tahapan proses dehidrasi/pemurnian (distilasi absorbent) menggunakan alat dehidrator menggunakan 2 (dua)cara,yaitu : 
  • Cara Kimia dengan menggunakan batu gamping 
  • Cara Fisika ditempuh melalui proses penyerapan menggunakan Zeolit Sintetis berukuran 3 Angstrom. Hasil proses dehidrasi berupa ethanol "kering" berkadar 99,6-99,8 % barulah dapat dikatagorikan sebagai Full Grade Ethanol (FGE),sehingga layak digunakan sebagai bahan bakar motor pengganti bensin,sesuai spesifiksi yang ditetapkan Pemerintah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar