bioethanol

Rabu, 21 September 2011

Wow,,, Petani Banyumas Hasilkan 150 Kilogram Singkong Per Pohon

 
Tribunnews.com - Minggu, 23 Mei 2010 06:12 WIB
TRIBUNNEWS.COM, BANYUMAS
Tumarjo (57), petani dari Desa Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menemukan teknologi penanaman singkong dengan hasil buah singkong bisa mencapai satu setengah kuintal per pohon. Ia menggunakan metode penyambungan (grafting) dari dua jenis batang singkong berbeda, yaitu singkong karet dan singkong gatot kaca.

Tumarjo mengaku, sejak tahun 2007 ia sudah menghasilkan singkong seberat satu setengah kuintal dari menanam satu pohon singkong. Namun, singkong tersebut hanya dikonsumsi sendiri dan tidak dijual karena hanya untuk dibanggakan keluarga sendiri.

”Petani lain belum ada yang tertarik untuk tanam singkong saya ini. Mungkin belum berani,” ujarnya saat ditemui, Sabtu (22/5/2010).

Ia menuturkan, singkong yang dipanennya tersebut merupakan hasil grafting antara jenis singkong karet dan singkong gatot kaca. Batang singkong karet ditempatkan pada sambungan atas, sedangkan batang singkong gatot kaca yang ditanamkan di dalam tanah.

Menurut Anto (23), salah seorang anak Tumarjo, awalnya, keluarganya mencoba sistem penyambungan antara batang singkong karet dan singkong armona. Penyambungan itu menghasilkan singkong berbentuk panjang. Namun, panjangnya melebihi singkong armona biasa yang hanya 20 sentimeter, yakni mencapai satu meter. ”Singkong panjang-panjang itu lebih cocok untuk tape, seperti di Jawa Barat,” katanya.

Ayahnya kemudian mencoba menyambung singkong karet dan singkong gatot kaca yang memiliki bentuk umbi singkong lebih pendek dan bulat. ”Setelah disambung dengan singkong jenis gatot kaca, hasilnya bagus.”

Kepala Dinas Pertanian Banyumas Djoko Wikanto mengatakan, pihaknya tertarik untuk mengembangkan budidaya singkong dengan penyambungan batang singkong karet dan batang singkong gatot kaca bagi petani Banyumas. Singkong sebesar itu potensial sebagai bahan baku bioetanol. (Kompas Cetak)

ICMI Dirikan Pabrik Bioethanol di Garut

oleh ICMI - IKATAN CENDEKIAWAN MUSLIM SE-INDONESIA pada 12 Januari 2011 jam 8:52

 

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan didampingi Presidium ICMI, Nanat Fatah Natsir meresmikan pabrik bioethanol

 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Orwil Jawa Barat, mendirikan pabrik bioethanol di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Bahan baku untuk menghasilkan bioethanol tersebut berasal dari singkong.
 “Program ini merupakan pilot project,” ujar Ketua ICMI Orwil Jawa Barat, Uton Ruston dalam acara peresmian pabrik yang dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, di Desa Cijambe, Garut, Selasa (11/1). 

Tahan Hingga 15 Jam

Menurut Uton, tujuan pendirian pabrik energi terbarukan ini untuk mewujudkan program kemandirian energi masyarakat pedesaan. Selain itu, kata dia, hasil produksi bioethanol ini diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya krisis energi di Indonesia.

Pengoperasian pabrik ini telah berlangsung sejak Maret 2009 lalu dengan jumlah pekerja mencapai 20 orang. Kapasitas produksi setiap harinya mencapai 200 liter dengan kebutuhan bahan baku singkong sebanyak 1,5 ton. Sementara biaya produksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan setiap satu liter bioethanol mencapai Rp 7 ribu.

Manager Pabrik Bioethanol, Muhtarom, menyatakan, bioethanol produksinya itu dapat digunakan untuk membersihkan alat kesehatan dan juga untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar rumah tangga. Satu liter ethanol dijual kepada masyarakat dengan harga Rp 10 ribu.

Etanol hasil produksinya itu memiliki kadar ethanol sebesar 90-94 persen. Kadar ini hanya cocok untuk kebutuhan sehari-hari, tidak dapat digunakan untuk bahan bakar kendaraan. Soalnya, kadar ethanol yang diperlukan untuk bahan bakar sebesar 99,5 persen. “Ethanol yang kita hasilkan belum bisa digunakan untuk kendaraan atau bahan bakar,” ujarnya.

 
Ketua Presidium ICMI, Ilham Akbar Habibie memberikan sambutan

Muhtarom menambahkan, ethanol ini hanya digunakan masyarakat untuk keperluan memasak. Keunggulan ethanol ini, dibandingkan minyak tanah, di antaranya memiliki daya tahan yang cukup lamam hingga mencapai 15 jam, sedangkan minyak tanah hanya bertahan 3 jam. Selain itu ethanol ini juga tidak mengeluarkan bau tidak sedap.

Untuk menghasilkan ethanol, lanjut Muhtarom, diperlukan waktu selama empat hari. Proses untuk menghasilkan etanol dengan cara singkong yang telah dibersihkan diparut dengan menggunakan mesin untuk diambil sarinya.

Setelah diendapkan selama satu jam, sari singkong tersebut dipanaskan di dalam tangki khusus hingga menjadi bubur dengan waktu selama 6 jam. Setelah dingin, dimasukkan ke dalam tangki fermentasi selama 3 hari. Baru dipanaskan kembali selama 4 jam dengan suhu 100 derajat di dalam tangki destalasi. “Dari teng ini baru keluar ethanol,” ujarnya.

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, meminta bioethanol ini bisa menjadi program yang dapat dirasakan masyarakat. Bahkan, dia berharap bioethanol ini bisa menjadi bahan bakar kendaraan.  “Bila bioethanol Ini sukses, krisis energi di Indonesia akan diselesaikan dari Kabupaten Garut,” ujarnya. (Sigit Zulmunir)

sumber:tempointeraktif.com

Medco kekurangan bahan baku singkong

Tuesday, 24 May 2011 18:39   
Ekonomi & Bisnis
WASPADA ONLINE









JAKARTA - Presiden Direktur PT Medco Downstream Indonesia, Bambang W Sugondo, menyatakan saat ini produksi bio etanol PT Medco Energi Internasional Tbk di Lampung kekurangan bahan baku singkong. Sehingga, produksi pabrik bio etanol Medco belum optimal.

"Produksi bio etanol Medco hanya sebesar 126.000 kiloliter per hari. Padahal kapasitas pabrik sebesar 180.000 kiloliter per hari. Produksi kita masih 70 persen, karena kita agak susah mendapatkan singkong akhir-akhir ini," ujar Bambang, sore ini.

Walaupun kesulitan mendapatkan bahan baku, Hingga akhir tahun, Medco berencana untuk mengerek produksi hingga 100 persen sesuai dengan kapasitas produksi. Hasil produksi pabrik bio etanol tersebut akan dijual untuk domestik dan ekspor.

Dikatakan, untuk porsinya, sebesar 50 persen dijual ke domestik dan sisanya sebesar 50 persen dijual untuk ekspor. "Ekspornya macam-macam. Ada yang ke China dan Korea," unkapnya.

Medco berencana untuk melakukan ekspansi dengan membangun pabrik bio etanol baru di Lampung pada akhir 2014 atau awal 2015. Kapasitasnya mencapai 180.000 kiloliter. Tak cuma memperluas pabrik di Lampung, Medco juga bakal membangun pabrik bio etanol di Merauke, Papua.

Pabrik di Papua ditargetkan bisa berproduksi sebanyak 180.000 KL bio etanol. Saat ini prosesnya masih dalam tahap pembebasan lahan tebu dan riset produksi tebu. "Kita belum punya angka investasi, tapi jika mengacu pabrik etanol standar mungkin bayangan saya untuk pabrik saja maksimum sekitar US$150 juta, di luar tanah," katanya.

Sementara itu, Asosiasi Produsen Biofuel (Aprobi) mencatat produksi bahan bakar nabati nasional pada kuartal pertama 2011 mencapai 300.000 kiloliter. "Sampai kuartal pertama tahun totalnya mungkin lebih dari 300.000 kiloliter," kata Sekjen Aprobi, Paulus Cakrawan.

Angka ini masih jauh dari target yang dipatok pemerintah. Dalam hitungan pemerintah, produksi bahan bakar nabati (BBN) tahun ini mencapai sekitar 800 ribu KL. Rinciannya, biodiesel 590 ribu KL, dan 200 ribu KL. “Kalau ditambah dengan ekspor, total produksi tahun ini harusnya 1 juta KL lebih,” jelasnya.

Paulus mengatakan, pengembangan BBN memang sulit diterapkan menyeluruh secara langsung. Pasalnya, pengembangan pemakaian BBN masih terkendala masalah distribusi dan kebijakan harga.

Ketika Singkong Banyak Diincar

Rencana pengembangan 30 pabrik bioetanol untuk memproduksi bahan bakar nabati dari singkong mendongkrak harga singkong sampai 100%.

Singkong sudah naik kelas. Dulu si ubi kayu ini hanya dijadikan sumber pangan kelas bawah, gaplek, tapioka, dan pakan ternak. Kini, ia bisa disulap menjadi bahan bakar yang sangat potensial, bioetanol. Oleh sebab itu, diperkirakan singkong akan jadi bahan rebutan antara pabrik tapioka, pabrik pakan, maupun pabrik etanol.
Tahun depan, pemerintah memprogramkan substitusi bioetanol 1% dari total kebutuhan bahan bakar premium sebanyak 19,66 juta kilo liter. Dengan 1% saja, berarti dibutuhkan ketersediaan bioetanol sebanyak 196,6 juta liter.
Menurut Eko Harwinanto, Manajer Perencanaan PT Madusari Lampung Indah (MLI), Grup Molindo, produsen etanol di Lampung Timur, untuk memproduksi 1 liter etanol diperlukan 7 kg singkong. Oleh karena itu, untuk menyediakan 196,6 juta liter etanol, paling tidak dibutuhkan pasokan singkong sebanyak 1,38 juta ton.

Gandeng Petani
Tanpa menyebutkan kapasitas, Ditjen Tanaman Pangan sudah menghitung kebutuhan pabrik bioetanol untuk tahun ini dan tahun depan, yang masing-masing 7 dan 30 pabrik. Kenyataan di lapangan, sampai Mei lalu, pabrik etanol berbahan baku singkong yang sudah dibangun baru ada tiga: PT Molindo Raya Industrial (MRI) di Malang, MLI, dan PT Medco Ethanol Lampung.
MRI memiliki kapasitas terpasang 40.000 kilo liter/tahun. Sementara MLI dan Medco masing-masing berkapasitas 50.000 kl/tahun dan 60.000 kl/tahun. Namun, pabrik bioetanol di Lampung itu baru bisa beroperasi akhir 2008.
Meskipun begitu, MLI sudah mengelola lahan singkong 1.600 ha di Lampung Timur dengan melibatkan 1.400 petani. “MLI menggandeng petani dalam bentuk kemitraan sejak tahun lalu,” ucap Eko. Begitu pula dengan Medco sudah merangkul petani di Lampung Utara. “Saya sudah bermitra dengan Medco,” aku Winarto, petani singkong di Sawojajar, Lampung Utara.
Sementara di sentra produksi lainnya, pembangunan pabrik etanol baru pada tahap penandatanganan nota kesepahaman. Di Jabar misalnya, perusahaan asal Korsel, LBL Network Ltd., berencana membangun pabrik bioetanol senilai US$100 juta di Sumedang. Demikian juga PT Medco Energi akan membangun pabrik etanol senilai Rp200 miliar—Rp300 miliar di Pameungpeuk, Garut. Seperti halnya di Lampung, kedua perusahaan ini pun menggandeng petani sebagai pemasok bahan baku.

Harga Naik
Meskipun pabrik etanol singkong belum beroperasi, namun hal itu sudah berimbas pada perbaikan harga singkong di tingkat petani. Menurut Yordan Bangsaratoe, pengusaha singkong di Lampung Utara, sebelumnya harga jual singkong ke pabrik tapioka hanya Rp100—Rp200/kg. Bahkan ketika panen raya, harganya anjlok di bawah Rp50/kg. Namun, dalam 5—6 bulan terakhir, harganya melonjak menjadi Rp400—Rp425/kg.
“Kondisi ini menguntungkan bagi petani sehingga membangkitkan gairah petani untuk mengusahakan singkong,” ungkap Yordan. Bahkan, ada beberapa petani yang dulu menggarap sawit, kini beralih mengupayakan singkong.
H. Kurniawan, Ketua I  Asosiasi Petani Ubi Kayu dan Tanaman Industri (Aspekti) Lampung, berharap, dengan bakal beroperasinya sejumlah pabrik bioetanol di Lampung, harga singkong bisa lebih baik lagi. Soalnya, harga jual etanol saat ini mencapai Rp6.000/kg.
“Hitungan saya, harga singkong bisa mencapai Rp500—Rp600/kg, jika pabrikan etanol tidak mengambil untung terlalu besar,” ucap Yordan. Pun Sutopo Lajir, pengusaha singkong yang memiliki 200 ha di Lampung Utara yakin harga singkong bakal lebih baik lagi di tahun depan.
Lampung yang sejak dulu memang merupakan lumbung singkong, pada masa mendatang akan dijadikan sentra pengembangan etanol nasional. Menurut Susilo Sugiarto, Manajer Kemitraan MLI, di sini akan ada 4—5 pabrik etanol yang akan beroperasi. Berdasar data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lampung, setiap tahun 300.000 ha lahan ditanami singkong dengan produksi rata-rata 30 ton/ha. Daerah ini mampu menghasilkan singkong 9 juta ton/tahun berarti menyumbang 65—70% terhadap kebutuhan nasional.

Tingkatkan Produksi
Dengan harga lebih tinggi di pabrik etanol, tentunya akan berdampak kepada pasokan bahan baku singkong ke pabrik tapioka yang telah ada di Lampung selama ini. Untuk itu, Ahmad Sanusi, Humas PT Budi Acid Jaya, pemain terbesar tapioka di Ketapang, Lampung Utara, mengatakan, pabriknya akan melakukan pembenahan untuk menjaga suplai bahan baku singkong ke pabriknya yang berkapasitas 700—800 ton/hari itu.  Caranya dengan membangun kemitraan dengan petani dan mengembangkan varietas unggul.
Yordan optimistis, petani akan tergerak untuk menambah areal tanaman singkong asalkan ada keberpihakan pemerintah guna memberdayakan mereka. Keberpihakan itu meliputi bimbingan teknis budidaya, permodalan, sarana produksi dan pengolahan hasil produksi. “Jika petani selama ini hanya mampu memproduksi 20—30 ton/ha/tahun, maka dengan dukungan stakeholder petani dapat meningkatkan sampai 80—100 ton/ha, bahkan bisa melebihi itu,” ungkap mantan bankir BDNI ini.
Sementara itu H. Kurniawan meminta pemerintah lebih memperhatikan petani agar pabrik bioetanol yang dibangun menghabiskan dana miliaran rupiah bisa beroperasi normal dengan tersedianya bahan baku berkesinambungan. Saat ini, menurutnya, perhatian pemerintah memang minim. “Hanya ada alokasi dana dari APBN untuk pengadaan bibit unggul singkong di Lampung Utara. Itu pun jumlahnya tidak besar,” tegas Kusnardi, Kasubdin Bina Produksi, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lampung, pekan lalu.
Kendati begitu, pihak dinas terus berupaya mendongkrak produktivitas singkong petani melalui sosialisasi singkong muhibat, yakni singkong sambung yang bagian atasnya singkong karet dan batang bawahnya singkong biasa.
Menurut Susilo, singkong muhibat belum banyak diminati petani karena pabrik tapioka tidak mau menampung. Dalihnya, ukuran umbinya yang jauh lebih besar tidak sesuai spesifikasi mesin di pabrik. “Saat ini petani yang sudah mengembangkan singkong muhibat di Lampung Utara dan Lampung Timur yang mampu menghasilkan 100 ton/ha karena isinya lebih besar dan lebih banyak,” ungkap lulusan Unila ini.
Ditambahkan Kusnardi, untuk menghasilkan lebih banyak singkong, petani juga tengah membudidayakan ubi kayu varietas unggul Darul Hidayah yang produktivitasnya mencapai 100 ton/ha. Demikian pula PT Budi Acid Jaya, tengah mengujicoba varietas baru asal China di lahan seluas 100 ha yang dikabarkan mampu menyamai Muhibat dan Darul Hidayah.

Perluas Lahan
Kecuali intensifikasi dengan varietas unggul, masih pula dimungkinkan perluasan lahan untuk mendongkrak pasokan singkong. Muhlizar Murkan, Direktur Budidaya Kacang– Kacangan dan Umbi-Umbian, Ditjen Tanaman Pangan, menunjuk potensi lahan kering di 8 provinsi, yaitu Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, NTT, dan Sulsel yang mencapai luasan 6,5 juta ha.
Khusus di Jabar, Agus Kordiat, Kasi Palawija Dinas Pertanian mengatakan, sasaran luas lahan singkong tahun ini 120.816 ha yang tersebar di Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, Bogor, dan Cianjur.
Dengan adanya perluasan lahan tersebut diharapkan produksi singkong nasional naik dari tahun silam yang tercatat sebanyak hampir 20 juta ton. Singkong sebanyak ini didapat dari luas panen 1,2 juta ha dengan rata-rata produktivitas 163 kuintal/ha. Sebelum dilirik menjadi bahan baku etanol, selama ini singkong tersebut berperan sebagai sumber pangan, bahan baku industri tapioka, dan pakan ternak. Dalam bentuk gaplek, tapioka, dan ampas gaplek, komoditas ini sudah diekspor ke mencanegara.
Di dalam negeri, pengunaan singkong tercatat untuk pangan  64%, industri 34% dan pakan ternak 2%. Proporsi ini mengambarkan perlunya upaya serius dari pemerintah, swasta dan petani sendiri untuk meningkatkan produksi singkong, sehingga penyediaan bahan baku bagi pabrik bioetanol nantinya tidak mengganggu alokasi singkong untuk pangan dan pakan ternak. Tanpa itu, prediksi terjadinya rebutan bahan baku antara pabrik tapioka yang sudah ada selama ini dengan pabrik etanol yang akan berproduksi akhir tahun depan akan menjadi kenyataan.
Yan Suhendar, Dadang WI, Krus Haryanto, Selamet, Syafnijal, Muhanda


Berebut Bahan Baku
Angin segar yang dirasakan petani singkong lantaran adanya pabrik etanol ternyata terasa bikin sesak napas pabrik tapioka skala menengah dan kecil.

Ambil contoh PT Sari Bangun (SB), produsen tapioka skala menengah di Desa Buyut, Gunung Sugih, Lampung Tengah. Burhaya A.Thalib, Kabag Umum PT SB mengakui, harga singkong sekarang yang Rp400/kg telah membuat perusahannya kesulitan memperoleh bahan baku. Apalagi, jika kelak harus bersaing dengan pabrik etanol. Saat ini saja dengan harga tersebut pihaknya sudah kalah bersaing dengan pabrik tapioka skala besar seperti PT Budi Acid Jaya.
 “Walaupun masih sanggup membeli, kami terpaksa mengurangi produksi yang biasanya setiap hari jadi hanya berproduksi 3 kali seminggu karena nggak ada bahan bakunya,” ungkap Burhaya. Lebih jauh ia berharap, pemerintah mengulurkan bantuannya agar keberlangsungan pabrik yang berdiri sejak 1972 ini terjaga. Bantuan ini paling tidak dalam bentuk pengaturan alokasi produksi singkong. Pasalnya, pabrik yang berkapasitas 60—70 ton/hari ini mempekerjakan 200 tenaga lepas dan 40 karyawan. Lagi pula, “Kami pula yang menampung singkong dari petani yang menjual dalam jumlah kecil menggunakan gerobak dan sepeda. Jika tidak ada yang nampung, bagaimana mereka akan menjual produksinya,” ucapnya.

Yan Suhendar, Krus Haryanto

ITS Temukan Pengganti Minyak Tanah dari Singkong

SURABAYA--MI: Temuan energi alternatif terus berdatangan. Kali ini satu temuan lagi datang dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, berupa bahan etahnol untuk bahan bakar penganti minyak tanah.

Ethanol selama ini dikenal sebagai bahan dasar alkohol dan parfum. Namun, temuan ITS Surabaya justru etahnol diambil dari bahan alami yang ada di sekitar masyarakat, yakni singkong gondrowu.

Bahkan, tingkat efisiensi ethanol dibandingkan dengan minyak tanah cukup jauh. Satu liter ethanol setara dengan sembilan liter minyak tanah.

Karena mengunakan bahan ethanol, kompor yang dipergunakan adalah kompor khusus yang diperuntukan bahan etahnol. Pihak ITS juga telah menciptakan kompor tersebut bekerja sama dengan perusahaan pembuatan kompor di Probolinggo, Jawa Timur.

Peneliti ethanol dari Fakultas MIP ITS Sri Nurhatika mengatakan, untuk membuat energi alternatif ini mudah. Bahkan, bisa dilakukan oleh masyarakat awam. Yang penting bahannya memiliki kandungan karbohidrat, seperti singkong.

Bahan baku yang diuji coba ITS adalah singkong gondrowu, jenis singkong berukuran raksasa yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat karena rasanya pahit dan beracun.

Namun, dibalik itu semua teryata singkong ini mengandung nilai yang luar biasa untuk bahan bakar. Bila tidak ada singkong bisa juga dengan bahan lain yang memiliki kandungan karbohidrat.
Ika mencontohkan, ethanol ini di Bekasi dapat dibuat dari limbah kulit kacang koro, sedangkan di daerah Kediri menggunakan limbah tahu. "Kami juga sedang mengincar Probolinggo karena di sana banyak sekali tetes tebu," ujarnya.

Proses pembuatannya juga sederhana. Ketela atau bahan-bahan lain tersebut dihaluskan, lalu direbus. Kemudian ditambahkan enzim amylase dan diberi ragi. "Untuks ementara ini, ragi tape biasa pun bisa digunakan. Tapi kami sedang mengkaji lebih lanjut ragi khusus untuk ethanol ini," lanjutnya.

Larutan ini didiamkan selama tiga sampai empat hari agar proses fermentasi berjalan. Setelah itu, ethanol akan dihasilkan. "Tapi kadar ethanol ini masih 90%. Sementara untuk kompor kami membutuhkan kadar ethanol sebesar 95%," kata Ika.

Untuk menaikkan kadar ethanol, katanya, perlu ditambahkan batu kapur. Ini perlu dilakukan sebab ethanol dengan kadar di bawah 95% masih mengandung Pb (timbal). Sedangkan ethanol untuk bahan bakar kompor harus bebas dari Pb. "Pb-nya bisa meledak, makaya harus bersih dari Pb," lanjutnya.

Sementara itu, kompor yang digunakan untuk bahan bakar itu dirancang khusus. Pembuatannya dilakukan bekerja sama dengan Koperasi Manunggal Sejahtera.

Keunggulan bahan bakar ethanol selain lebih ekonomis juga terbukti tanpa jelaga. Namun, pemanasan ethanol diakui Ika lebih lama jika dibandingkan dengan minyak tanah.

"Untuk memasak mi, kompor minyak tanah membutuhkan waktu 10 menit. Sedangkan kompor ethanol dua hingga tiga menit lebih lama," ujarnya. (FL/OL-01

Mobil Berbahan Bakar Singkong

Karya Anak Bangsa
 
Senin, 24 Mei 2010 | 13:10 WIB


JAKARTA, TRIBUN - Komisi Nasional Masyarakat Indonesia (KNMI) bekerja sama dengan PT. Energy Karya Madani berhasil menciptakan Bioetanol yang kemudian disebut Biopremium yang ramah lingkungan. Uniknya, bahan bakar pengganti bensin tersebut diolah dari tanaman singkong.
"Kami sudah uji coba ke 1.200 kendaraan selama beberapa bulan terakhir dan tidak ada kerusakan mesin, baik-baik saja," ujar sang penemu yang juga Dirut PT. Energy Karya Madani, S. Adibrata, Senin (24/5/2010), di Jakarta.
Menurut Kepala Bidang Ekonomi KNMI Endy Priyatna, kelebihan temuan etanol berbahan singkong ini adalah kandungan alkohol atau etil etanolnya bisa mencapai 96 persen, bahkan bisa ditingkatkan hingga 99 persen. "Bisa dibandingkan dengan rata-rata kandungan alkohol pada bahan bakar yang ada sekarang hanya sekitar 70 persen," ungkapnya kepada para wartawan.
Meski dinamakan Biopremium, namun kualitas bioetanol ini setaraf dengan Pertamax keluaran Pertamina. Hal ini sudah diuji pada mobil-mobil mewah yang memiliki cc besar. "Kemarin sudah juga dilakukan test drive dari Jakarta ke Subang dengan jarak sekitar 200 km, dan tidak ada masalah," ujar Endy.
Selain kualitas yang tak kalah baik dengan yang dihasilkan bensin dari bahan bakar fosil, biopremium ini juga dinilai ekonomis. Menurut Endy, untuk menghasilkan satu liter ethanol diperlukan enam kilogram singkong.
Harga singkong yakni Rp 400,00 per kilogram. Berarti satu liter ethanol hanya menghabiskan Rp 2.400,00 ditambah ongkos produksi Rp 1.000,00. Total harga satu liter ethanol singkong menjadi Rp 3.400,00, harga ini jauh lebih murah dengan yang ada di pasaran.
Adapun, siang ini sekitar pukul 11.00 WIB tujuh unit mobil berbendera KNMI dilepas dari Sekretariat KNMI di Jalan Tebet Utara III menuju Surabaya. Ketujuh mobil tersebut sudah berbahan bakar singkong dengan persentase kandungan etanol dari 25-100 persen.
Perjalanan ini selain ditujukan untuk mengetes kemampuan biopremium tersebut pada perjalanan jarak jauh, juga untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang sumber daya alternatif ini.
  • sumber: kompas.com

Sorgum, Bahan Baku Alternatif BIO ETHANOL

 
Friday,October,2008
httm://megachristina.blogspot.com/2008/10/sorgum-bahan-baku-alternatif-bioethanol.html

Tanaman Sorgum sebagai bahan baku produksi bio ethanol (bio fuel) telah  direkomendasikan oleh Bank Dunia karena tidak mengganggu ketersediaan bahan pangan dunia dan tidak menimbulkan konflik kepentingan ekonomi sebagaimana yang dapat ditimbulkan jika bio ethanol diproduksi dengan bahan baku singkong, jagung manis, atau kentang manis. Sorghum juga telah dimanfaatkan sebagai bahan baku di Amerika Serikat, India dan China.

Nilai Tambah Tanaman Sorgum
    • Batang sebagai bahan baku pembuatan bio ethanol.
    • Buah-biji sebagai bahan pembuat tepung dan bio ethanol (bio fuel).
    • Ampas produksi  bio ethanol  sebagai bahan pembuatan pakan ternak,  pulp paper dan sumber tenaga listrik.
    • Biaya penanaman dan perawatan tanaman sorgum relatif murah dan mudah.
    • Pembibitan varietas unggul tanaman sorgum relatif mudah dan murah.
Singkong (Ubi Kayu) Sebagai Bahan Baku Bio-Ethanol
    • Singkong tanaman yang mudah ditanam dan dikenal semua kalangan terutama oleh para petani.
    • Singkong terdiri dari banyak varietas unggulannya.
    • Mudah dan murah perawatannya.
    • Limbah produksi sebagai bahan kompos / organik.
Pemanfaatan Produk Bio Ethanol.
    • Kadar 99,5% up, sebagai subsitusi Bahan Bakar Minyak jenis bensin pada otomotif, dan pesawat.
    • Kadar 90-96% sebagai solvent di  industri makanan, kosmetik, farmasi, consumer goods, dan sebagai bahan dasar substrat kimia. 
    • Kadar 60-70% sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah dan cairan antiseptik.
    • Pemanfaatan (utilisasi) ethanol dapat menunjang peluang tumbuhnya industri pendukung.
Peluang.
Dengan  keluarnya  Peraturan  Mentri  dan  Sumber Daya Mineral  (PermenSDM)No.32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga BahanBakar  Nabati  (Bio fuel)  Sebagai  Bahan  Bakar  lain,  prospek  industri  bio ethanol di Tanah Air makin cerah. (ad/energy/concern)