Meskipun
begitu, MLI sudah mengelola lahan singkong 1.600 ha di Lampung Timur
dengan melibatkan 1.400 petani. “MLI menggandeng petani dalam bentuk
kemitraan sejak tahun lalu,” ucap Eko. Begitu pula dengan Medco sudah
merangkul petani di Lampung Utara. “Saya sudah bermitra dengan Medco,”
aku Winarto, petani singkong di Sawojajar, Lampung Utara.
Sementara
di sentra produksi lainnya, pembangunan pabrik etanol baru pada tahap
penandatanganan nota kesepahaman. Di Jabar misalnya, perusahaan asal
Korsel, LBL
Network Ltd., berencana membangun pabrik bioetanol senilai US$100 juta
di Sumedang. Demikian juga PT Medco Energi akan membangun pabrik etanol
senilai Rp200 miliar—Rp300 miliar di Pameungpeuk, Garut. Seperti halnya
di Lampung, kedua perusahaan ini pun menggandeng petani sebagai pemasok
bahan baku.
Harga Naik
Meskipun
pabrik etanol singkong belum beroperasi, namun hal itu sudah berimbas
pada perbaikan harga singkong di tingkat petani. Menurut Yordan
Bangsaratoe, pengusaha singkong di Lampung Utara, sebelumnya harga jual
singkong ke pabrik tapioka hanya Rp100—Rp200/kg. Bahkan ketika panen
raya, harganya anjlok di bawah Rp50/kg. Namun, dalam 5—6 bulan terakhir,
harganya melonjak menjadi Rp400—Rp425/kg.
“Kondisi
ini menguntungkan bagi petani sehingga membangkitkan gairah petani
untuk mengusahakan singkong,” ungkap Yordan. Bahkan, ada beberapa petani
yang dulu menggarap sawit, kini beralih mengupayakan singkong.
H. Kurniawan, Ketua I Asosiasi
Petani Ubi Kayu dan Tanaman Industri (Aspekti) Lampung, berharap,
dengan bakal beroperasinya sejumlah pabrik bioetanol di Lampung, harga
singkong bisa lebih baik lagi. Soalnya, harga jual etanol saat ini
mencapai Rp6.000/kg.
“Hitungan
saya, harga singkong bisa mencapai Rp500—Rp600/kg, jika pabrikan etanol
tidak mengambil untung terlalu besar,” ucap Yordan. Pun Sutopo Lajir,
pengusaha singkong yang memiliki 200 ha di Lampung Utara yakin harga
singkong bakal lebih baik lagi di tahun depan.
Lampung
yang sejak dulu memang merupakan lumbung singkong, pada masa mendatang
akan dijadikan sentra pengembangan etanol nasional. Menurut Susilo
Sugiarto, Manajer Kemitraan MLI, di sini akan ada 4—5 pabrik etanol yang
akan beroperasi. Berdasar data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Lampung, setiap tahun 300.000 ha lahan ditanami singkong dengan produksi
rata-rata 30 ton/ha. Daerah ini mampu menghasilkan singkong 9 juta
ton/tahun berarti menyumbang 65—70% terhadap kebutuhan nasional.
Tingkatkan Produksi
Dengan
harga lebih tinggi di pabrik etanol, tentunya akan berdampak kepada
pasokan bahan baku singkong ke pabrik tapioka yang telah ada di Lampung
selama ini. Untuk itu, Ahmad Sanusi, Humas PT Budi Acid Jaya, pemain
terbesar tapioka di Ketapang, Lampung Utara, mengatakan, pabriknya akan
melakukan pembenahan untuk menjaga suplai bahan baku singkong ke
pabriknya yang berkapasitas 700—800 ton/hari itu. Caranya dengan membangun kemitraan dengan petani dan mengembangkan varietas unggul.
Yordan
optimistis, petani akan tergerak untuk menambah areal tanaman singkong
asalkan ada keberpihakan pemerintah guna memberdayakan mereka.
Keberpihakan itu meliputi bimbingan teknis budidaya, permodalan, sarana
produksi dan pengolahan hasil produksi. “Jika petani selama ini hanya
mampu memproduksi 20—30 ton/ha/tahun, maka dengan dukungan stakeholder petani dapat meningkatkan sampai 80—100 ton/ha, bahkan bisa melebihi itu,” ungkap mantan bankir BDNI ini.
Sementara
itu H. Kurniawan meminta pemerintah lebih memperhatikan petani agar
pabrik bioetanol yang dibangun menghabiskan dana miliaran rupiah bisa
beroperasi normal dengan tersedianya bahan baku berkesinambungan. Saat
ini, menurutnya, perhatian pemerintah memang minim. “Hanya ada alokasi
dana dari APBN untuk pengadaan bibit unggul singkong di Lampung Utara.
Itu pun jumlahnya tidak besar,” tegas Kusnardi, Kasubdin Bina Produksi,
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lampung, pekan lalu.
Kendati
begitu, pihak dinas terus berupaya mendongkrak produktivitas singkong
petani melalui sosialisasi singkong muhibat, yakni singkong sambung yang
bagian atasnya singkong karet dan batang bawahnya singkong biasa.
Menurut
Susilo, singkong muhibat belum banyak diminati petani karena pabrik
tapioka tidak mau menampung. Dalihnya, ukuran umbinya yang jauh lebih
besar tidak sesuai spesifikasi mesin di pabrik. “Saat ini petani yang
sudah mengembangkan singkong muhibat di Lampung Utara dan Lampung Timur
yang mampu menghasilkan 100 ton/ha karena isinya lebih besar dan lebih
banyak,” ungkap lulusan Unila ini.
Ditambahkan
Kusnardi, untuk menghasilkan lebih banyak singkong, petani juga tengah
membudidayakan ubi kayu varietas unggul Darul Hidayah yang
produktivitasnya mencapai 100 ton/ha. Demikian pula PT Budi Acid Jaya,
tengah mengujicoba varietas baru asal China di lahan seluas 100 ha yang
dikabarkan mampu menyamai Muhibat dan Darul Hidayah.
Perluas Lahan
Kecuali
intensifikasi dengan varietas unggul, masih pula dimungkinkan perluasan
lahan untuk mendongkrak pasokan singkong. Muhlizar Murkan, Direktur
Budidaya Kacang– Kacangan dan Umbi-Umbian, Ditjen Tanaman Pangan,
menunjuk potensi lahan kering di 8 provinsi, yaitu Sumut, Lampung,
Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, NTT, dan Sulsel yang mencapai luasan
6,5 juta ha.
Khusus
di Jabar, Agus Kordiat, Kasi Palawija Dinas Pertanian mengatakan,
sasaran luas lahan singkong tahun ini 120.816 ha yang tersebar di Garut,
Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, Bogor, dan Cianjur.
Dengan
adanya perluasan lahan tersebut diharapkan produksi singkong nasional
naik dari tahun silam yang tercatat sebanyak hampir 20 juta ton.
Singkong sebanyak ini didapat dari luas panen 1,2 juta ha dengan
rata-rata produktivitas 163 kuintal/ha. Sebelum dilirik menjadi bahan
baku etanol, selama ini singkong tersebut berperan sebagai sumber
pangan, bahan baku industri tapioka, dan pakan ternak. Dalam bentuk
gaplek, tapioka, dan ampas gaplek, komoditas ini sudah diekspor ke
mencanegara.
Di dalam negeri, pengunaan singkong tercatat untuk pangan 64%,
industri 34% dan pakan ternak 2%. Proporsi ini mengambarkan perlunya
upaya serius dari pemerintah, swasta dan petani sendiri untuk
meningkatkan produksi singkong, sehingga penyediaan bahan baku bagi
pabrik bioetanol nantinya tidak mengganggu alokasi singkong untuk pangan
dan pakan ternak. Tanpa itu, prediksi terjadinya rebutan bahan baku
antara pabrik tapioka yang sudah ada selama ini dengan pabrik etanol
yang akan berproduksi akhir tahun depan akan menjadi kenyataan.
Yan Suhendar, Dadang WI, Krus Haryanto, Selamet, Syafnijal, Muhanda
Berebut Bahan Baku
Angin
segar yang dirasakan petani singkong lantaran adanya pabrik etanol
ternyata terasa bikin sesak napas pabrik tapioka skala menengah dan
kecil.
Ambil
contoh PT Sari Bangun (SB), produsen tapioka skala menengah di Desa
Buyut, Gunung Sugih, Lampung Tengah. Burhaya A.Thalib, Kabag Umum PT SB
mengakui, harga singkong sekarang yang Rp400/kg telah membuat
perusahannya kesulitan memperoleh bahan baku. Apalagi, jika kelak harus
bersaing dengan pabrik etanol. Saat ini saja dengan harga tersebut
pihaknya sudah kalah bersaing dengan pabrik tapioka skala besar seperti
PT Budi Acid Jaya.
“Walaupun
masih sanggup membeli, kami terpaksa mengurangi produksi yang biasanya
setiap hari jadi hanya berproduksi 3 kali seminggu karena nggak
ada bahan bakunya,” ungkap Burhaya. Lebih jauh ia berharap, pemerintah
mengulurkan bantuannya agar keberlangsungan pabrik yang berdiri sejak
1972 ini terjaga. Bantuan ini paling tidak dalam bentuk pengaturan
alokasi produksi singkong. Pasalnya, pabrik yang berkapasitas 60—70
ton/hari ini mempekerjakan 200 tenaga lepas dan 40 karyawan. Lagi pula,
“Kami pula yang menampung singkong dari petani yang menjual dalam jumlah
kecil menggunakan gerobak dan sepeda. Jika tidak ada yang nampung,
bagaimana mereka akan menjual produksinya,” ucapnya.
Yan Suhendar, Krus Haryanto