bioethanol

Rabu, 21 September 2011

Ketika Singkong Banyak Diincar

Rencana pengembangan 30 pabrik bioetanol untuk memproduksi bahan bakar nabati dari singkong mendongkrak harga singkong sampai 100%.

Singkong sudah naik kelas. Dulu si ubi kayu ini hanya dijadikan sumber pangan kelas bawah, gaplek, tapioka, dan pakan ternak. Kini, ia bisa disulap menjadi bahan bakar yang sangat potensial, bioetanol. Oleh sebab itu, diperkirakan singkong akan jadi bahan rebutan antara pabrik tapioka, pabrik pakan, maupun pabrik etanol.
Tahun depan, pemerintah memprogramkan substitusi bioetanol 1% dari total kebutuhan bahan bakar premium sebanyak 19,66 juta kilo liter. Dengan 1% saja, berarti dibutuhkan ketersediaan bioetanol sebanyak 196,6 juta liter.
Menurut Eko Harwinanto, Manajer Perencanaan PT Madusari Lampung Indah (MLI), Grup Molindo, produsen etanol di Lampung Timur, untuk memproduksi 1 liter etanol diperlukan 7 kg singkong. Oleh karena itu, untuk menyediakan 196,6 juta liter etanol, paling tidak dibutuhkan pasokan singkong sebanyak 1,38 juta ton.

Gandeng Petani
Tanpa menyebutkan kapasitas, Ditjen Tanaman Pangan sudah menghitung kebutuhan pabrik bioetanol untuk tahun ini dan tahun depan, yang masing-masing 7 dan 30 pabrik. Kenyataan di lapangan, sampai Mei lalu, pabrik etanol berbahan baku singkong yang sudah dibangun baru ada tiga: PT Molindo Raya Industrial (MRI) di Malang, MLI, dan PT Medco Ethanol Lampung.
MRI memiliki kapasitas terpasang 40.000 kilo liter/tahun. Sementara MLI dan Medco masing-masing berkapasitas 50.000 kl/tahun dan 60.000 kl/tahun. Namun, pabrik bioetanol di Lampung itu baru bisa beroperasi akhir 2008.
Meskipun begitu, MLI sudah mengelola lahan singkong 1.600 ha di Lampung Timur dengan melibatkan 1.400 petani. “MLI menggandeng petani dalam bentuk kemitraan sejak tahun lalu,” ucap Eko. Begitu pula dengan Medco sudah merangkul petani di Lampung Utara. “Saya sudah bermitra dengan Medco,” aku Winarto, petani singkong di Sawojajar, Lampung Utara.
Sementara di sentra produksi lainnya, pembangunan pabrik etanol baru pada tahap penandatanganan nota kesepahaman. Di Jabar misalnya, perusahaan asal Korsel, LBL Network Ltd., berencana membangun pabrik bioetanol senilai US$100 juta di Sumedang. Demikian juga PT Medco Energi akan membangun pabrik etanol senilai Rp200 miliar—Rp300 miliar di Pameungpeuk, Garut. Seperti halnya di Lampung, kedua perusahaan ini pun menggandeng petani sebagai pemasok bahan baku.

Harga Naik
Meskipun pabrik etanol singkong belum beroperasi, namun hal itu sudah berimbas pada perbaikan harga singkong di tingkat petani. Menurut Yordan Bangsaratoe, pengusaha singkong di Lampung Utara, sebelumnya harga jual singkong ke pabrik tapioka hanya Rp100—Rp200/kg. Bahkan ketika panen raya, harganya anjlok di bawah Rp50/kg. Namun, dalam 5—6 bulan terakhir, harganya melonjak menjadi Rp400—Rp425/kg.
“Kondisi ini menguntungkan bagi petani sehingga membangkitkan gairah petani untuk mengusahakan singkong,” ungkap Yordan. Bahkan, ada beberapa petani yang dulu menggarap sawit, kini beralih mengupayakan singkong.
H. Kurniawan, Ketua I  Asosiasi Petani Ubi Kayu dan Tanaman Industri (Aspekti) Lampung, berharap, dengan bakal beroperasinya sejumlah pabrik bioetanol di Lampung, harga singkong bisa lebih baik lagi. Soalnya, harga jual etanol saat ini mencapai Rp6.000/kg.
“Hitungan saya, harga singkong bisa mencapai Rp500—Rp600/kg, jika pabrikan etanol tidak mengambil untung terlalu besar,” ucap Yordan. Pun Sutopo Lajir, pengusaha singkong yang memiliki 200 ha di Lampung Utara yakin harga singkong bakal lebih baik lagi di tahun depan.
Lampung yang sejak dulu memang merupakan lumbung singkong, pada masa mendatang akan dijadikan sentra pengembangan etanol nasional. Menurut Susilo Sugiarto, Manajer Kemitraan MLI, di sini akan ada 4—5 pabrik etanol yang akan beroperasi. Berdasar data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lampung, setiap tahun 300.000 ha lahan ditanami singkong dengan produksi rata-rata 30 ton/ha. Daerah ini mampu menghasilkan singkong 9 juta ton/tahun berarti menyumbang 65—70% terhadap kebutuhan nasional.

Tingkatkan Produksi
Dengan harga lebih tinggi di pabrik etanol, tentunya akan berdampak kepada pasokan bahan baku singkong ke pabrik tapioka yang telah ada di Lampung selama ini. Untuk itu, Ahmad Sanusi, Humas PT Budi Acid Jaya, pemain terbesar tapioka di Ketapang, Lampung Utara, mengatakan, pabriknya akan melakukan pembenahan untuk menjaga suplai bahan baku singkong ke pabriknya yang berkapasitas 700—800 ton/hari itu.  Caranya dengan membangun kemitraan dengan petani dan mengembangkan varietas unggul.
Yordan optimistis, petani akan tergerak untuk menambah areal tanaman singkong asalkan ada keberpihakan pemerintah guna memberdayakan mereka. Keberpihakan itu meliputi bimbingan teknis budidaya, permodalan, sarana produksi dan pengolahan hasil produksi. “Jika petani selama ini hanya mampu memproduksi 20—30 ton/ha/tahun, maka dengan dukungan stakeholder petani dapat meningkatkan sampai 80—100 ton/ha, bahkan bisa melebihi itu,” ungkap mantan bankir BDNI ini.
Sementara itu H. Kurniawan meminta pemerintah lebih memperhatikan petani agar pabrik bioetanol yang dibangun menghabiskan dana miliaran rupiah bisa beroperasi normal dengan tersedianya bahan baku berkesinambungan. Saat ini, menurutnya, perhatian pemerintah memang minim. “Hanya ada alokasi dana dari APBN untuk pengadaan bibit unggul singkong di Lampung Utara. Itu pun jumlahnya tidak besar,” tegas Kusnardi, Kasubdin Bina Produksi, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lampung, pekan lalu.
Kendati begitu, pihak dinas terus berupaya mendongkrak produktivitas singkong petani melalui sosialisasi singkong muhibat, yakni singkong sambung yang bagian atasnya singkong karet dan batang bawahnya singkong biasa.
Menurut Susilo, singkong muhibat belum banyak diminati petani karena pabrik tapioka tidak mau menampung. Dalihnya, ukuran umbinya yang jauh lebih besar tidak sesuai spesifikasi mesin di pabrik. “Saat ini petani yang sudah mengembangkan singkong muhibat di Lampung Utara dan Lampung Timur yang mampu menghasilkan 100 ton/ha karena isinya lebih besar dan lebih banyak,” ungkap lulusan Unila ini.
Ditambahkan Kusnardi, untuk menghasilkan lebih banyak singkong, petani juga tengah membudidayakan ubi kayu varietas unggul Darul Hidayah yang produktivitasnya mencapai 100 ton/ha. Demikian pula PT Budi Acid Jaya, tengah mengujicoba varietas baru asal China di lahan seluas 100 ha yang dikabarkan mampu menyamai Muhibat dan Darul Hidayah.

Perluas Lahan
Kecuali intensifikasi dengan varietas unggul, masih pula dimungkinkan perluasan lahan untuk mendongkrak pasokan singkong. Muhlizar Murkan, Direktur Budidaya Kacang– Kacangan dan Umbi-Umbian, Ditjen Tanaman Pangan, menunjuk potensi lahan kering di 8 provinsi, yaitu Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, NTT, dan Sulsel yang mencapai luasan 6,5 juta ha.
Khusus di Jabar, Agus Kordiat, Kasi Palawija Dinas Pertanian mengatakan, sasaran luas lahan singkong tahun ini 120.816 ha yang tersebar di Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, Bogor, dan Cianjur.
Dengan adanya perluasan lahan tersebut diharapkan produksi singkong nasional naik dari tahun silam yang tercatat sebanyak hampir 20 juta ton. Singkong sebanyak ini didapat dari luas panen 1,2 juta ha dengan rata-rata produktivitas 163 kuintal/ha. Sebelum dilirik menjadi bahan baku etanol, selama ini singkong tersebut berperan sebagai sumber pangan, bahan baku industri tapioka, dan pakan ternak. Dalam bentuk gaplek, tapioka, dan ampas gaplek, komoditas ini sudah diekspor ke mencanegara.
Di dalam negeri, pengunaan singkong tercatat untuk pangan  64%, industri 34% dan pakan ternak 2%. Proporsi ini mengambarkan perlunya upaya serius dari pemerintah, swasta dan petani sendiri untuk meningkatkan produksi singkong, sehingga penyediaan bahan baku bagi pabrik bioetanol nantinya tidak mengganggu alokasi singkong untuk pangan dan pakan ternak. Tanpa itu, prediksi terjadinya rebutan bahan baku antara pabrik tapioka yang sudah ada selama ini dengan pabrik etanol yang akan berproduksi akhir tahun depan akan menjadi kenyataan.
Yan Suhendar, Dadang WI, Krus Haryanto, Selamet, Syafnijal, Muhanda


Berebut Bahan Baku
Angin segar yang dirasakan petani singkong lantaran adanya pabrik etanol ternyata terasa bikin sesak napas pabrik tapioka skala menengah dan kecil.

Ambil contoh PT Sari Bangun (SB), produsen tapioka skala menengah di Desa Buyut, Gunung Sugih, Lampung Tengah. Burhaya A.Thalib, Kabag Umum PT SB mengakui, harga singkong sekarang yang Rp400/kg telah membuat perusahannya kesulitan memperoleh bahan baku. Apalagi, jika kelak harus bersaing dengan pabrik etanol. Saat ini saja dengan harga tersebut pihaknya sudah kalah bersaing dengan pabrik tapioka skala besar seperti PT Budi Acid Jaya.
 “Walaupun masih sanggup membeli, kami terpaksa mengurangi produksi yang biasanya setiap hari jadi hanya berproduksi 3 kali seminggu karena nggak ada bahan bakunya,” ungkap Burhaya. Lebih jauh ia berharap, pemerintah mengulurkan bantuannya agar keberlangsungan pabrik yang berdiri sejak 1972 ini terjaga. Bantuan ini paling tidak dalam bentuk pengaturan alokasi produksi singkong. Pasalnya, pabrik yang berkapasitas 60—70 ton/hari ini mempekerjakan 200 tenaga lepas dan 40 karyawan. Lagi pula, “Kami pula yang menampung singkong dari petani yang menjual dalam jumlah kecil menggunakan gerobak dan sepeda. Jika tidak ada yang nampung, bagaimana mereka akan menjual produksinya,” ucapnya.

Yan Suhendar, Krus Haryanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar